Jalan-Jalan di Timika (1)

Jujur, saya masih belum bisa move-on dari memori indah selama 5 hari di Timika ketika menulis ini... Apa sih yang spesial dari Timika? Ibukota Kabupaten Mimika, Papua ini lebih dikenal sebagai pintu masuk menuju pusat tambang Freeport. Kalian yang pernah mengenal orang yang tinggal di sana mungkin tidak akan mendengar kata "wisata" digunakan sebagai alasan kedatangan mereka.

Kota ini mungkin memang sering dijadikan tempat persinggahan para penjelajah yang hendak mendaki Gunung Jaya Wijaya dan Puncak Carstensz, atau tempat mampir para pekerja tambang yang sering "turun" di akhir pekan. Tapi adakah orang yang datang murni untuk berwisata seperti saya?

Awal cerita, saya memang sudah menargetkan waktu untuk jalan-jalan dengan tiket konsesi. Uang tabungan yang cukup untuk jalan-jalan "gembel" selama beberapa hari pun sudah tersedia. Tinggal memilih destinasi wisata yang kira-kira dapat memuaskan saya dengan waktu dan budget terbatas.

Beberapa negara tetangga sempat terpikirkan, tapi entah mengapa saya lebih tertarik untuk mengunjungi daerah yang waktu tempuhnya jauh dengan pesawat. Pulau "Cendrawasih" pun menjadi target saya, tapi daerah mana yang harus saya kunjungi?

Sok gosok, saya menemui Om Jin Couchsurfing. Kok? Ya! Demi terlaksananya jalan-jalan "gembel" yang direncanakan, saya perlu mencari orang yang bisa memberikan tumpangan di tempat yang ingin dikunjungi. Manokwari, Jayapura, dan Biak pun menjadi target pertama saya.

Setelah memasukkan nama-nama daerah tersebut di mesin pencari host, saya menemukan beberapa member yang terlihat cukup kredibel. Sent, sent, sent. Satu orang dari Manokwari membalas pesan saya, tapi yang saya dapat bukan kabar gembira.

Lama tidak ada yang membalas pesan saya lagi, saya putuskan mencoba daerah lain. Timika. Satu host berhasil ditemukan. Dilema bagi saya, karena Timika terlihat tidak semenarik daerah lain yang sebelumnya saya targetkan, tapi setelah bertukar informasi dan kontak, saya memutuskan untuk berkunjung ke Timikaaa!

Kebetulan calon host saya adalah seorang pustakawan di sebuah sekolah asrama yang murid-muridnya adalah penduduk lokal. Buat orang seperti saya, sekolah pun akan sangat menarik untuk dijadikan tempat wisata X).

Sebelum berangkat saya mempersiapkan diri dengan persiapan seadanya--kecuali "ritual" meminum air rebusan daun pepaya seperti yang disarankan ca-host untuk mencegah malaria. Niat memang gede, tapi persiapan males banget--tiket saja baru dipesan sehari sebelum tanggal keberangkatan.

Sehari sebelum berangkat saya mendapat kabar dari ca-host bahwa kondisi Timika sedang tidak aman karena adanya aksi balas dendam warga asli dengan pendatang, tapi dia tetap memastikan saya untuk berdoa dan berpikiran positif jika ingin tetap pergi.

Saya pun sama sekali tidak merasa takut atau mendapat firasat buruk apapun, maka lanjutlah saya berangkat sesuai waktu yang telah direncanakan.

Baca juga: Jalan-Jalan di Timika (2)

Hari 1

Sesampainya di bandara Mozes Kilangin, Jumat (15/8/2014), hujan gerimis dan langit mendung menyambut kedatangan saya. Menurut bapak yang menjemput saya, hujan saat itu biasanya awet. Oo oooo... Sudah jalan banyak ditutup karena ancaman konflik, hujan gerimis yang lama berhenti, jadilah pagi itu waktu berkabung nasional...

but first let me take a selfie!
Dengan kondisi demikian, saya pun mengikuti plan B seperti yang sudah saya dan ca-host rencanakan, yaitu berkunjung ke sekolah. Sesampainya di sekolah, baju sudah basah kuyup--karena si bapak lupa membawa jas hujan lebih.

Setelah berganti baju, saya dibawa untuk berkenalan dengan para guru dan staf, juga anak-anak murid yang ramai berdatangan setelah melihat orang asing yang baru saja datang. Beberapa murid tidak segan menghampiri saya dan bertanya siapa saya, bahkan ada yang tidak ragu untuk memeluk saya!

Seumur hidup saya tidak pernah dipeluk oleh anak kecil saat pertama kali bertemu! Rata-rata orang tua di ibukota selalu mengajarkan anaknya untuk berhati-hati dengan orang asing, tapi di sini saya masih bisa merasakan kebebasan dari anak-anak untuk mengekspresikan kepolosan mereka*awww.

Setelah berkeliling melihat sekolah dan asrama, sisa waktu di pagi hari itu saya habiskan untuk mengobrol bersama dengan host. Banyak hal yang kami obrolkan, secara kami baru pertama kali bertemu. Kemudian terungkap kalau kami berasal dari daerah dan almamater kampus yang sama!  

Alamak! Dunia jadi terasa begitu sempit, namun tidak dengan pengalaman pribadi kami masing-masing--terutama host saya yang sudah lebih banyak memakan asam garam kehidupan remaja ibukota hingga kini berhasil sampai di pelosok timur Indonesia.

***

Pukul tiga sore, ketika cuaca sudah lebih baik, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti latihan upacara 17 Agustus bersama para staf sekolah dan asrama, juga tentunya murid-murid Papua. Pasukan pengibar bendera, petugas upacara, paduan suara, serta peserta lainnya turun ke lapangan.

Entah sudah berapa tahun lamanya sejak terakhir kali saya mengikuti upacara kemerdekaan, namun kali ini saya akan kembali mengikuti upacara hari kemerdekaan di luar kampung halaman saya, tepatnya di ujung timur Indonesia!


Latihan upacara berlangsung agak lambat, karena sulitnya merapikan barisan anak-anak peserta upacara. Host saya pun mencoba menguji saya dengan pertanyaan yang cukup terdengar rasis, 'apa bedanya anak Jawa dengan anak Papua?' 

Memang faktanya ada sesuatu yang berbeda antara mereka dengan anak-anak di daerah 'maju' di Indonesia, khususnya Jawa. Dari sanalah saya mulai bersimpati, empati, atau apalah namanya itu. Tiba-tiba ada keinginan saya untuk mengenal mereka lebih dekat dan membagikan rezeki yang telah saya dapatkan sebagai anak Jawa.




Selesai cerita seriusnya, kita istirahat dulu sorenya. Host saya tinggal dengan satu temannya, yang menjadi guru di sekolah asrama tersebut. Untuk perkenalan, host saya bernama Friska dan Lena *hai wanita-wanita tangguh di sana. Mereka berdua sama-sama perantau Jabodetabek yang baik hati.

Kemudian saya diajak keluar untuk makan malam dengan modal nekat, walau tetap khawatir kita dibegal di tengah jalan yang belum aman. Jalan-jalan sore itu dihabiskan dengan mampir ke toserba, belanja sedikit, jajan batagor, ngobrol pengalaman couchsurfing, dan SusiAir.


Hari 2

Hari Sabtu, jadi hari kedua yang panjang dan mendung di Timika. Pagi-pagi sekali kami ke sekolah asrama untuk mengikuti latihan dan persiapan perayaan 17-an. Kita bertiga, cabe-cabean, naik motor untuk mengejar waktu.

Di sekolah saya diperkenalkan lagi dengan beberapa pengajar dan staf asrama yang masih muda-muda. Rata-rata mereka berasal dari ibukota dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi swasta bonafide. Sedikit heran mengapa mereka berani meninggalkan keluarga dan teman, melewatkan kesempatan untuk mendapat rezeki, hiburan, atau mungkin 'jodoh' yang lebih mudah didapatkan di ibukota.




Seusai latihan, host mengajak saya mampir ke asrama. Asrama terdiri dari beberapa unit rumah yang diberi nama khas Papua. Saya pun mampir ke salah satu asrama anak laki-laki. Di sana, pembina asrama sedang memutarkan film Godzilla untuk menghibur anak-anaknya.

Beberapa anak sibuk wara-wiri atau membuat pesawat dari kertas lipat. Bosan mengawasi tingkah bocah laki-laki di sana, saya mencoba melebur dan membuat kamera dari kertas hasil rampasan. Lucunya, setelah beberapa anak saya buatkan, semua anak mulai heboh dan berebut minta dibuatkan mainan 'teraneh' yang baru mereka lihat.



Bersama ibu pustakawan yang jadi host saya 

Siang harinya, saya diajak oleh host dan teman-teman guru untuk ikut belanja akhir pekan. Dengan mobil elf asrama, saya dan sekira delapan guru lainnya mengunjungi beberapa tempat selama sisa siang itu.

Gelael Timika menjadi tempat pemberhentian pertama. Seperti Gelael lain, selalu ada KFC di dekatnya. Sementara nunggu ciwi-ciwi belanja, saya mampir ke KFC untuk beli es krim.

Ada hal unik waktu transaksi di kasir. Saya tidak ingat detil harga es krim yang di beli waktu itu, tapi perkirakan saja harganya 6.200 termasuk pajak. Saya kasih 6000 dan 500 ke kasir, tetapi penjaga kasir balik bertanya apa saya punya uang 1.000. Setelah saya kasih, 500 saya dikembalikan. Sebelum sempat tanya balik ke penjaga kasir kenapa jadi 7.000, host dan satu teman guru saya bilang kalau 500 tidak berarti apa-apa di Timika. Berapapun ratusannya akan dibulatkan jadi 1.000...

Menunggu ciwi-ciwi yang masih getol berbelanja, satu teman host saya mengajak kami bertiga makan coto makassar yang tidak terlalu jauh dari Gelael. Sambil makan, teman host yang kebetulan guru kelas satu ini bercerita soal pengalamannya mengajar.

Ia bercerita bagaimana sulitnya mengajar anak yang belum pernah kenal pendidikan sekolah dan masih membawa kebiasaan dari rumah. Tapi banyaknya cerita suka duka dari pengalaman mengajar dan pribadi murid-muridnya, membuat teman host saya ini bertekad untuk mengabdi lebih lama untuk anak-anak Papua ;)

Selesai cerita sedih dan sesi belanja keperluan rumahnya, kami kembali ke mobil untuk keliling kota. Saya dan host sempat diturunkan ke daerah di mana terdapat deretan toko souvenir untuk berbelanja. Toko souvenir khas Papua tentu nggak pernah jauh dari koteka, noken (tas anyam), pahatan kayu, dan lukisan kulit kayu.

Setelah itu, kami pergi ke toko Batik Ilham. Brand ini memang khusus menjual batik dengan corak khas Papua. Outletnya aja cuma tersebar di Pulau Papua. Awalnya saya nggak mau belanja, karena pakaian jadinya bisa mengorek habis kocek di dompet gembel saya. Tapi akhirnya saya terhipnotis untuk membeli kain batik meteran, yang mungkin bisa dibikin gaun batik nanti di rumah.





Setelah selesai berbelanja, kami pulang ke rumah masing-masing. Dua orang guru lanjut ke rumah host saya untuk pesta sleepover *yay! Spa dadakan, makan bakso dari penjual keliling, curhat-curhatan, belajar nari, masak-masak sedikit, begitulah ternyata kalau cewek-cewek kumpul untuk menginap bersama.

Tiba-tiba pintu rumah kontrakan host saya digedor tetangga sebelah. Bukan karena kami terlalu berisik atau apa, ternyata a boy next door mengajak kami bakar-bakaran untuk makan malam. Waduh, entah karena cowok tetangga tahu tetangga perempuannya selalu membawa teman di malam minggu atau karena kedatangan tamu jauh *ehm* mereka mau menjamu kami dan mengajak kami kumpul bersama.

Walaupun agak malu-malu, kami ciwi-ciwi (lagi-lagi) makan malam bersama dua cowok tetangga sebelah. Mereka sama-sama keturunan pendatang yang sedang bekerja di Timika. Beberapa saling bertukar cerita, seperti seputar pengalaman kerja di berbagai wilayah di Papua, kesibukkan di gereja, hingga sejarah dan kehidupan para transmigran di Papua. Acara makan-makan pun ditutup dengan menyanyi lagu rohani bersama yang diiringi mainan gitar dan drum kecil oleh anak tetangga. 

Saya akui saya adalah muslim yang lama tidak bergaul dengan orang yang tidak seiman dengan saya. Tapi momen itu tidak membuat saya menjaga jarak. Melihat teman-teman dari berbagai daerah (Jawa, Batak, Manado, Jakarta) berkumpul di satu tempat yang jauh dari keluarga dan tanah kelahiran mereka, bersuka dalam satu kepercayaan dan kesadaran akan bertanah air satu Indonesia, membuat saya sadar akan indahnya bertoleransi dan betapa kayanya Indonesia. Serius, saya terharu. 


Komentar

  1. mba, toko oleh2nya di Timika sebelah mana ya? saya cari kok ga ketemu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau Batik Ilham ada di Ruko Jalan Belibis No.11 (depan Bank Mandiri). Deket situ ada toko suvenir juga, seperti di foto :) Maaf baru balas

      Hapus
  2. nice story mbak. jadi inget pengalaman saya tinggal setahun disana.

    BalasHapus
  3. Ceritanya bagus mbak...keren deh alur critanya .saya perjalananan bulan ke 5 ini.hehehe

    BalasHapus
  4. Ceritanya bagus mbak...keren deh alur critanya .saya perjalananan bulan ke 5 ini.hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar