Menderu Badai di Gunung Merbabu (Via Cuntel)

Merbabu jadi gunung kedua yang saya daki. Setelah pengalaman pertama ke Papandayan awal Desember 2014, saya menantang diri sendiri untuk mendaki ke gunung yang lebih tinggi. Gunung yang berada di Provinsi Jawa Tengah ini memiliki puncak dengan ketinggian 3142 MDPL, dibanding Papandayan yang hanya 2665 MDPL.

Sebenarnya saya tidak menyengaja untuk ke Merbabu, tapi kebetulan saja ada tawaran dari teman kantor yang punya geng pendaki gunung. Saya dan tiga teman kantor saya lainnya pun bergabung dengan  hampir 20 orang lainnya. Jelas ini bakal seru banget! Hip, hip, hurrah!

Kita berangkat dari Stasiun Senen, Jakarta, jam empat sore di hari Jumat (13/2/2015). Ceritanya hari itu jadi hari pertama saya naik kereta jawa *maklum nggak punya kampung di Jawa. Jadi, hampir sepuluh jam di kereta ekonomi itu agak ‘wah’, walaupun nggak ada kejadian mabok, muntah, atau yang memalukan lainnya--selain tidur sepanjang perjalanan.


Kita sampai di Stasiun Semarang Poncol sekira jam setengah dua pagi. Mengingat beberapa tim berangkat lebih malam dan sampai di Stasiun Semarang Tawang jam tiga malam, jadi kita jemput mereka dulu. Setelah semua tim hadir, kita pergi dengan truk besar sewaan melalui Salatiga menuju wilayah Kopeng.

Setelah lewat waktu subuh kita sudah sampai di basecamp Cuntel yang berada di dekat Gapura Umbul Songo Kopeng. Rute Cuntel adalah berada di utara Gunung Merbabu. Kaki gunung atau wilayah sekitar Gunung Merbabu supa dupa indah dan subur, mengingat gunung tersebut pernah aktif.

Basecampnya cukup besar, dengan dua kamar mandi, jadi enak untuk menginap—walau berdiri di samping lahan pekuburan *abaikan. Di sana kita menghabiskan waktu dua atau tiga jam, sebelum akhirnya memulai pendakian jam delapan pagi.  

Dari gerbang kita harus lalui perumahan penduduk lokal dan tanah perkebunan yang bertingkat-tingkat. Berharap bisa menemukan bonus atau jalan datar, tapi jalanan terus nanjak! Barisan tim yang direncanakan pun terpecah-pecah. Beberapa cowok berkaki setan diperintah menyusul ke depan, banyak tim perempuan yang merayap pelan-pelan di belakang. Saya sendiri pakai strategi “jalan terus, pantang liat ke belakang”--supaya nggak takut liat ke bawah.

Pos 1 bayangan dan Pos 1 asli terlewatkan setelah seabad rasanya. Lalu Pos 2 bayangan dan Pos 2 (di salah satu pos itu ada bak penampungan air yang bisa diminum). Dari situ, tinggal saya, satu orang cewek dan lima cowok. Dua di antara cowok itu cowok kaki setan yang diminta ngetag tempat untuk kita kemah, sementara formasi saya dan empat orang lainnya tetap segitu sampai…

Mata kita dimanjakan dengan burung elang dan monyet besar nan cantik, yang terbang dan berkeliaran di antara pepohonan yang tidak terlalu rapat. Lalu juga hijaunya pepohonan yang membingkai pemandangan langit di atas kami atau desa-desa dan gunung kecil di bawah kami. Telinga kita juga dimanjakan dengan kombinasi suara gamelan dan pengajian dari desa-desa penduduk.



Trek Cuntel terus mematikan sampai kita tiba di Pos 3. Akhirnya ada tanah lapang tempat kita bisa lari-larian! Di sana kita istirahat cukup lama, sambil mengobrol dan menghabiskan camilan dan minuman--yang harusnya diirit-irit, karena kabarnya tidak ada sumber air di atas...
Pos 3 ini bisa dijadikan tempat kemah untuk beberapa puluh tenda. Pemandangannya juga bagus karena tempatnya terbuka, dan kita bisa melihat pemandangan perumahan dan gunung-gunung tetangga Merbabu.
Lalu kita melanjutkan pendakian, saat itu sudah jam 12 siang! Bersyukur karena cuaca saat itu tidak terik, tapi mendung alamat badai… Jalanan masih terus menanjak dan mengerucut. Dari bawah, Pos Pemancar di puncak pertama jalur ini sudah terlihat. Tapi trek masih terjal dan cuaca saat itu sangat buruk dengan angin yang sewaktu-waktu bisa menumbangkan tubuh dan hati ini yang mulai rapuh…

Tiba-tiba kabut menutupi pemandangan di belakang kami, angin terus bertiup sampai rintik dan dinginnya air kabut terasa menusuk-nusuk kulit di balik kemeja saya *ya, kemeja. Akhirnya, kami terpaksa berhenti dan duduk menunggu kabut dan badai angin lewat. Selama itu kami hanya bisa diam menyaksikan fenomena alam di depan kami.  


Setelah badai berlalu, kita lanjut mendaki. Untuk kali pertama saya mulai rese' mengeluh karena pemancar yang menipu. Beberapa kali saya melontarkan pertanyaan retoris *asik* kapan akan sampai di Pos Pemancar. Teman saya cuma bisa bilang ‘sebentar lagi’, ‘setengah jam lagi lah’, atau gemertakin gigi karena dia juga nggak bisa jawab pertanyaannya sendiri.

Jam setengah tiga, kita sampai di Pos Pemancar, tapi kita nggak bisa benar-benar istirahat. Langit masih berkabut dan lokasinya terlalu sempit dan berangin untuk kita istirahat. Akhirnya kita lanjut menghabiskan sisa tenaga untuk pergi ke pos berikutnya. Setelah pemancar kita dihadapkan dengan jalanan menurun dan jalan sempit yang diapit punggung pegunungan. Dua cowok berkaki dewa (mungkin memang kurang ajar kalau saya sebut mereka setan :P) sudah mengetag tempat di bawah lereng di tengah jalur yang merupakan daerah Pos Helipad.

Duduk sejenak di Pos Pemancar

Kita beruntung karena satu dari cowok berkaki dewa itu membawa satu tenda. Ketika kami datang, mereka sudah mendirikan tenda dan berusaha mencari sumber air. Tak lama kita sampai di tenda hujan deras turun lagi. Kita bertujuh awalnya ingin istirahat, tapi berhubung perut sudah keroncongan karena belum makan siang dan kelelahan, kita segera mengeluarkan perbekalan. Udara dingin juga membuat kita pingin minum teh hangat, kompor pun dikeluarkan. Tapi kabar buruknya saudara-saudara, nggak ada satu pun dari kita yang bawa pemantik atau korek api!

Tapi satu cowok berkaki dewa itu punya ide untuk bikin api dari dengan memanfaatkan baterai senter dan benda logam untuk menciptakan muatan sedemikian rupa agar dapat menginduksi percikan api *eaaa...eaaa. Berbagai benda logam sudah dikeluarkan, senter nyaris dihancurkan, tapi percikan api yang cukup untuk menyalakan kompor gas tidak bisa dihasilkan. Setelah beberapa jam mencoba akhirnya kita pasrah dan memilih makan nasi bungkus dari pagi dan mi remes.

Waktu sudah hampir senja, tapi nggak ada tanda-tanda teman kita yang lain akan menyusul ke tempat kami. Kita sempat berusaha menghubungi nomor beberapa teman, tapi masalah sinyal menjadi kendala. Awalnya kita berencana untuk sampai di pos tempat kami berada yang dekat dengan puncak dan bisa pulang lewat jalur Selo. Tapi kita hanya berharap semoga mereka selamat dan bisa menyusul kita keesokan paginya.
 
Laki-laki berkaki dewa memandang senja di ufuk barat

Malam hari kita habiskan untuk cuddling *eh*, yang jelas banyak-banyak ngobrol, walaupun sebenarnya kita udah kelelahan dan agak kedinginan karena belum kena air panas. Untung kita nggak memutuskan untuk tidur lebih dini, kalau ya mungkin kita nggak bisa dapet pertolongan, karena di malam hari ada sekelompok pendaki yang membangun tenda di samping kita. Akhirnya, kita mendapatkan pemantik api penyelamat hidup yang dititipkan Tuhan kepada mereka *Allahuakbar!

***

Sejak sekitar jam empat pagi satu per satu dari kita bangun karena kegerahan, tiba-tiba nggak enak badan, dan nggak kuat sama semprotan kentut. Beberapa dari kita mulai masak untuk mengisi perut, sebelum malaikat pembawa pemantik api kita melanjutkan perjalanan. Kita juga hendak menyaksikan matahari terbit dari Pos Pemancar. Barulah sekira jam setengah enam kita keluar dari tempat persembunyian. Angin dingin membuat saya nyaris menjadi patung, apalagi saat terkena terpaan dari jalur jembatan setannya Pos Helipad. Di puncak Pos Pemancar bahkan anginnya lebih dingin lagi.

Puncak yang menyajikan matahari pagi
Penampakan Sumbing-Sindoro dari Pos Pemancar Merbabu (Foto: Puti)
Setelah puas menikmati pemandangan fajar hari, kita kembali ke tenda untuk mengambil senjata baru sebelum naik ke puncak. Tiba-tiba saya diserang demam mental yang membuat saya mengundurkan diri untuk ikut muncak. Mungkin tubuh saya memang beku pagi itu, tapi setelah saat itu saya baru sadar kalau yang membuat saya urung muncak karena takut. Teman-teman saya yang lain juga sudah membujuk karena mereka menyayangkan saya yang sudah pergi sejauh itu dan puncak Gunung Merbabu hanya dua jam dari tenda kami! Tapi saya memilih untuk tetap tinggal dan menyesal setelah melihat oleh-oleh foto yang didapat di puncak tertinggi Merbabu, puncak Kenteng Songo.


Mungkin saya memang butuh banyak latihan mental dan datang lagi ke Merbabu untuk bisa kembali melalui punggung pegunungannya dan sampai di puncak-puncaknya yang indah. Semoga menginspirasi, salam dari Sapta Patala! :* 


Total lama perjalanan pendakian Merbabu via Cuntel:
Naik - 6 jam (basecamp sampai Pos 4 Pemancar)
Muncak - 2 jam (Pos 4 Pemancar sampai Kenteng Solo)
Turun - 3 jam (Pos 4 Pemancar - basecamp

Komentar