Pengalaman Pertama Naik Gunung: Papandayan

Dorongan untuk naik gunung sebenarnya udah dari dulu, waktu awal kuliah. Mulai karena banyak teman dari daerah yang senang promosiin wisata gunungnya sampai gaya anak-anak kota yang senang liburan akhir pekan ke gunung (tren Film 5 Cm justru saya belum ngeh), semua bikin saya mupeng. Tapi entah kenapa, salah satu penghalangnya, dulu ongkos naik gunung masih saya anggap mahal.

Setelah kerja dan bisa menghasilkan cukup uang sendiri, kesempatan itu pun datang. Tanpa dicari, tawaran itu datang sendiri (kayak jodoh). Beberapa teman kantor yang memang lagi getol-getolnya jalan mengusulkan untuk trip bareng ke Gunung Papandayan. Tawaran itu pun saya sambut dengan patuh (berhubung saya junior) dan penuh kegirangan karena penasaran. Yok, let's go!

Tapi let's go-nya mau naik gunung pertama kali nggak semudah let's go mau jalan-jalan di kota. Waktu itu saya pun agak deg-degan karena judulnya mendaki gunung, menembus sekian ribu MDPL. Persiapan harus banyak, mulai dari peralatan dan perlengkapan naik gunung, persiapan fisik dan mental. Untuk persiapan fisik dan mental mungkin sudah terlatih karena kerjaan saya tiap hari ngukur jalanan dan merangkai 350 kali 10 kata. Yang PR buat saya justru perlengkapan.

Dengan bantuan teman-teman kantor dan internet pun saya pun mulai ngelist barang apa aja yang harus dibawa. Kemudian saya mulai berburu perlengkapan, mulai dari sendal gunung (karena belum mampu beli sepatu gunung) sampai day pack 50 L (karena belum mampu beli keril), beberapa masih harus sewa karena keterbatasan biaya. Ya, untuk pengalaman pertama memang cukup menguras T.T Tapi nggak papa toh kalau bisa buat investasi.


***

Lebih dari 10 orang, termasuk saya, ikut trip ke Papandayan pada hari Jumat, 5 Desember 2014. Menurut yang udah pengalaman, memang biasanya waktu mendaki gunung di akhir pekan yang tepat start dari Jumat supaya bisa pulang hari Minggu atau setidaknya pulang Senin pagi. 

Kita pergi ke Terminal Kampung Rambutan jam delapan malam. Meski agak rempong di persiapan, kita sampai di sana sekira jam 10 malam dan berangkat naik bis ke Garut, setelah berjibaku dengan banyak penumpang lainnya, hampir tengah malam. 

Oiya, secara saya masih baru di dunia pendakian gunung, saya cukup terkejut dan kagum dengan keramaian terminal di akhir pekan itu. Banyak anak-anak muda bercelana outdoor, pakai sandal gunung, buff yang dipakai dengan berbagai cara, keril berpuluh-puluh liter yang menyaingi punggung. Ada yang keliatan alay, tapi nggak sedikit juga yang saya liat keren--apalagi yang cowok-cowok. Dari situ standar lelaki idaman saya pun bertambah X-P


 ***
Gunung Papandayan dikenal para pendaki sebagai salah satu dari trio gunung di Garut, setelah Cikuray dan Guntur, yang memiliki ketinggian puncak 2665 meter di atas laut (MDPL). Gunung ini termasuk gunung aktif yang telah beberapa kali menyebabkan bencana alam, seperti yang tercatat pada tahun 1772, 1923, 1942, dan terakhir 2002.

Rasa penasaran dan ketidaknyamanan di bis tetap bikin saya bisa tidur, sampai kami sampai di Terminal Guntur, Garut, sebelum waktu subuh. Saya dan teman-teman mampir sejenak di warung makan dekat terminal. Sekira tiga jam kami stay untuk solat, bersihin badan, packing ulang, sarapan, atau molor lagi. 

Lalu kami sewa satu mobil elf, dengan harga masing-masing orang kena sekira Rp15.000. Setelah itu kita turun di Cisurupan untuk jemput mobil bak yang akan membawa kami ke kaki Gunung Papandayan dengan harga sedikit lebih mahal dari ongkos elf. Perjalanan kurang lebih setengah jam, dan kami sampai di kaki gunung sekira jam delapan pagi.

Setelah berdoa, registrasi dan bayar, sebesar Rp5000 termasuk asuransi (per Juni 2016, tiket masuk naik menjadi Rp20.000), kita langsung tancap gas. Saya siap dengan senjata kamera HP, dua teman saya bahkan niat bawa kamera SLR. Jepret-jepret, maju, dada sesek berhenti, maju, jepret-jepret, napas abis berhenti, begitu terus sampai mulai ngeliat kepulan asap belerang. 
Saat itu jalur pendakian ramai dengan pendaki PKS, mungkin jumlahnya ada ratusan. Jalan sama rombongan pun nggak gampang. Ada teman yang sakit, kelelahan, antri baris sama pendaki PKS, jadilah kita main tunggu-tungguan sama puas-puasin foto-foto. Kita pun baru sampai di Pos 1 jam setengah sebelas.




Di sana, kita diselamatkan oleh warung kopi milik Pak Asep Sunrise (40 tahun) dan temannya. Asep "Matahari Terbit" ini juga pemandu di Papandayan, gunung yang katanya keindahan matahari terbitnya nggak kalah dengan Gunung Prau di Dieng, Jawa Tengah.

Setelah puas satu jam istirahat dan kenyang makan gorengan di warung Pos 1, kita mulai jalan lagi. Dari situ jalur di awal memang nggak terlalu terjal atau banyak "bonus". Tapi kita jalan di pinggir tebing, beberapa bahkan terlalu sempit sampai-sampai disediain tali biar nggak kepleset ke jurang neraka... 

Saya sih hepi-hepi aja waktu itu, tapi kalau ngeliat temen ragu jalan karena ketakutan, jadi nular bikin kaki gemetaran. Tapi ternyata itu karena motor berantai Kamen Rider Papandayan yang dengan mantap melindas bebatuan jalanan sempit dan terjal. Ternyata di atas sana masih ada kehidupan.. Terima kasih Allah!


***

Jam 12 kurang, kami sampai di Pos 2 Gober Hut. Cuaca mulai mendung dan rintik-rintik hujan gunung turun. Kita istirahat untuk solat, istirahat, foto-foto, dan lagi-lagi makan gorengan. Saya sendiri masih heran kenapa warung bisa sampai ke gunung, apalagi ibu-ibu yang jualan di sana? Luar biasa sekali! 

*** 

Sebelum sampai di tempat kemah (Foto: Risna Nur Rahayu)

Sekitar jam dua siang kami akhirnya sampai di tempat kemah. Hujan yang mulai deras membuat kita harus meneduh di (lagi-lagi) warung dan numpang masak-masak karena mulai kehabisan receh buat jajan. Setelah agak reda, beberapa ke lokasi yang ditargetkan untuk bangun tiga tenda. Saya yang belum pernah lihat orang bangun tenda pun ikut membantu sampai sejam lebih.

Setelah semua dipastikan beres, barulah kita pindah. Soal tempat bersih-bersih ternyata kita tidak perlu kuatir, karena di area tersebut ada beberapa bilik kamar mandi dengan air tidak terbatas dari sumber mata air di atas. Ada juga saung untuk tempat solat. Buat catatan, lain kali ke Papandayan nggak usah bawa berliter-liter air dan banyak makanan, hhe.

***

Subuh keesokan harinya, saya terbangun bersama pendaki lainnya yang sudah mulai antri di kamar mandi. Nggak kuat sama dingin, saya pun tidur lagi sampai jam enam. Setelah itu, beberapa teman mengajak saya untuk berburu pemandangan matahari terbit. Walaupun agak telat dan salah dapat tempat, tapi pemandangannya menakjubkan!


Agak siangan setengah dari tim kami pergi ke hutan mati. Treknya tidak terlalu curam, tapi agak licin karena hujan. Hutan mati memang cukup unik. Hutan itu penuh pepohonan homogen (belum cari tahu apa namanya), batangnya halus, dan tidak berdaun, seperti bisa dilihat di foto di bawah ini.


Setelah puas di hutan mati, kita lanjut untuk melihat padang Edelweiss. Perjalanan cukup menyulitkan karena jalan yang licin, cukup menanjak dan bikin dada sesak. Di tengah perjalanan kita sempat menemukan selang saluran air mata air yang bocor, lumayan buat diminum.

Otak kita mungkin udah penuh dengan bayangan lapangan luas dengan tanaman Edelweiss (walaupun belum mekar karena masih musim hujan). Tapi sebelum sampai di sana kita terus disiksa dengan trek yang semakin curam. Bahkan beberapa langkah sebelum TKP, kita ketemu dengan jalan yang untuk melaluinya harus pakai bantuan tambang.


Dan... Akhirnya, kelelahan terbayar sudah ketika kita sampai di Tegal Alun! Padang Edelweiss tersebut adalah sisi lain Papandayang yang nggak boleh dilewatkan! 

Meski rintik-rintik embun dan angin dingin menghajar kita, tapi pemandangan di sana "Sekali lagi, luar biasa!" (gaya Ariel). Mungkin itu bukan puncak Papandayan, tapi bagi kami itu sudah puncak kenikmatan yang bikin ketagihan (eh) naik gunung! 



Komentar