Membuka Cerita 2016 dari Gunung Ciremai (via Palutungan)

Membuka tahun baru 2016 dengan trip gunung, sama sekali nggak terpikirkan. Sampai satu hari, seorang kenalan menawarkan ajakan untuk mendaki Gunung Ciremai di awal tahun baru. 

Adalah Bang Rahel Yosephine, pemuda asal Tanah Tinggi yang pernah menjadi teman seperjalanan di pendakian Merbabu, awal 2015 lalu.

Abang ini punya jam terbang mendaki gunung yang tingkat keseringannya melebihi jam terbang uang gajian saya masuk ke rekening tabungan.. Jadi, ini benar-benar satu kehormatan bagi saya *happytears.

Gunung Ciremai (Foto: www.ficripebriana.com)
Bicara soal Gunung Ciremai, namanya sudah tidak lagi asing di telinga saya. Jalur ekstrim, itu yang teringat dari kisah beberapa kawan. Memang ada tiga jalur berbeda yang bisa diambil pendaki di sana. Jalur Linggarjati disebut-sebut yang paling ekstrim dibanding dua jalur lainnya. Beruntung tim kami direncanakan untuk melalui Jalur Palutungan, meskipun dengan risiko waktu perjalanan yang lebih panjang. 

Tanggal 1 Januari, Jumat malam, kita pun berkumpul di Terminal Kampung Rambutan. Ada sembilan orang di tim kami, saya, Bang Rahel dan geng Tanah Tinggi (Ridwan, Gio, dan Dimas), Mba Neva yang sudah pernah saya kenal sebelumnya di trip Cikuray, Mba Hani dan adiknya Lisa, dan Bang Syuhada yang paling senior. Dari sana kita naik bus tujuan Kuningan, dengan ongkos Rp60.000, lalu berangkat nyaris tengah malam.

Setelah perjalanan panjang lebih dari lima jam, kami turun di Taman Cirendang untuk menjemput angkot yang akan membawa kami ke basecamp Palutungan dengan ongkos Rp15.000 per orang. Beberapa jam kita habiskan untuk sarapan, berkemas ulang, bersih-bersih, sampai selfie sukaesih. Bang Rahel dan Ridwan sibuk wara-wiri mengurus pendaftaran dan keperluan tim, sementara kami ciwi-ciwi sibuk main dan rame sendiri *terima kasih, Bang Kikih dan Iwan!

***

Jam 10.30 kita mulai bergerak. Melalui perumahan dan persawahan warga. Lalu mulai menanjak perbukitan, berhenti beberapa saat, kemudian lanjut memasuki wilayah hutan. 




Belum apa-apa, banjir keringat sudah terlihat di muka Dimas, satu kotak madu sachet dikeluarkan Mba Hani, dan keinginan buang air besar tidak bisa ditahan Bang Syuhada. Perjalanan menuju pos kedua memang sangat panjang dan melelahkan. Kurang lebih, butuh dua setengah jam untuk sampai di Pos Cigowong.

Pos Cigowong yang luas jadi tempat berkemah banyak pendaki Ciremai. Di sana ada sebuah warung, bilik kamar mandi, dan sungai kecil yang menjadi sumber air bagi pendaki. Kami pun sempatkan waktu untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju Goa Walet (tanah) yang dijanjikan. Namun, masih ada enam pos lagi yang harus kita lalui, yaitu Kuta, Pangguyangan Badak, Arban, Tanjakan Asoy, Pasanggrahan, dan Sanghiyang Ropoh.


Sepanjang jalan, hutan lebat menemani perjalanan kita bersama suara-suara binatang asli wilayah taman nasional itu. Adapun kontur menanjak cukup membuat kita sering berhenti karena kelelahan. Mba Hani dan Lisa mulai sering bertukar tas (karena salah satunya cuma tas biasa), Bang Rahel dan Gio mulai tertinggal di belakang, Mba Neva pun kehilangan kekuatan 'cengcorangnya', sementara Ridwan terus memimpin pasukan dari depan.

Tengah hari, rintikan hujan kabut mulai turun. Beberapa kali turun lalu berhenti, sampai hujan yang lebih besar datang dan mengharuskan kami mengenakan jas hujan. Setelah Pos Tanjakan Asoy, hujan deras terus turun, membuat jalur pendakian seperti sungai kecil, sehingga kita harus lebih berhati-hati melangkah. Barisan tim kami pun mulai tak berjarak saat itu. Gapaian tangan Ridwan jadi penolong kami para gadis mulai ringkih *uh-oh.

Sebelum sampai Pos Pasanggrahan kami memutuskan untuk makan siang, saat hujan perlahan berhenti. Perbekalan yang dibawa segera dikeluarkan dan disusun sedemikian rupa supaya kita bisa makan bareng-bareng. Nasi, telur dadar, tempe orek, ayam serundeng, makaroni panggang, sampai butiran tanah bercampur jadi satu untuk kemudian masuk ke perut kami yang lapar. Bahkan saya yang biasanya punya nafsu makan sedikit bisa ikut makan dengan lahap.

Pada waktu yang telah ditetapkan Ridwan, kami pun kembali melanjutkan perjalanan yang semakin panjang dan berat. Pukul tiga sore lebih kami baru sampai di Pos Pasanggrahan, sementara masih sekitar tiga jam lagi untuk kita sampai ke Goa Walet. Ridwan pun tetap kekeuh menegaskan mandat Abang Rahel dan menyemangati kami agar bisa sampai di sana tepat waktu.

Perjalanan terus semakin berat, saya pun mulai merasa kesulitan mengatur napas dan membawa beban di punggung. Tapi uluran tangan, perhatian, dan lontaran semangat dari Ridwan menjadi cambuk lebih buat saya dan teman-teman yang lain *nengok kanan kiri. Well, untuk beberapa alasan, saya suka dengan ketegasaan dan ketepatan prediksi Ridwan saat mengarahkan tim *diam-diam ngefans sama abang satu ini *_*

***

Menuju Pos Sanghiyang Ropoh, hujan kembali turun dan lebih deras dari sebelumnya. Tapi itu tidak menghentikan langkah kami. Sanghiyang Ropoh terlewati dan kami mulai memasuki batas wilayah vegetasi. Pijakan kami mulai berbatu dan dipenuhi tanaman kerdil semacam Edelweis dan Cantigi, aroma belerang pun tercium, dan kemiringan tanah mulai terjal. Dari belakang punggung kami, kami bisa melihat perkotaan dan pegunungan terhampar luas dengan matahari yang perlahan tergelincir ke ufuk barat.


Meski hujan mereda, sekonyong-konyong saya mulai merasakan suhu udara menurun. Ditambah lagi angin dingin yang menyergap kami di tanah terbuka. Ridwan, Dimas, Mba Neva, dan saya bahkan sempat saling berpegangan untuk menghangatkan tangan.

Jalur semakin terjal dan tidak ada cukup banyak bonus untuk kita beristirahat. Mengetahui kondisi semakin kritis, Ridwan dan Dimas bergerak naik lebih cepat untuk segera menemukan Goa Walet. Sementara Mba Neva, saya, Lisa, Mba Hani, dan Bang Syuhada mulai berjarak dan bergerak dengan energi yang tersisa.

Tiba-tiba Lisa mulai mengeluh kedinginan dan beberapa kali minta ditunggu. Saya yang berada di depannya hanya bisa menyemangati pada awalnya, karena kami sama-sama sedang berjuang melawan dingin. Saya menyarankannya agar tetap bergerak, tapi Lisa terus mengeluhkan tangannya yang kaku dan mengharapkan ada yang memandunya. 

Saya pun turun dan menarik tangan kiri Lisa yang kaku, sementara tangan kanan saya merayapi jalan dengan bebatuan cadas. Cahaya langit mulai meredup dan jalan di depan mulai tampak mengerikan. Dan, Tuhaaan, saya menemukan batu nisan untuk mengenang pendaki yang pernah meregang nyawa di sini, di antara jalan yang kami lalui. Tolong kami, ya Allah, saya tidak mau mati di sini!!

Tak lama setelah itu, Lisa mulai terkena serangan panik. Dia yang masih kedinginan berkata ingin menunggu pendaki lain yang bisa membantunya, sementara Mba Hani dan Bang Syuhada memaksanya agar tetap bergerak. Tapi kemudian kami berhenti karena Lisa tidak kuat berjalan. Mba Hani mulai frustasi menghadapi Lisa yang menunjukkan gejala hipotermia.

Jauh dari atas, Mba Neva memanggil-manggil. Namun, kami berempat sibuk sendiri, mencoba mengendalikan situasi. Di belakang kami sudah nampak cahaya headlamp dari pendaki lain, tapi menunggu mereka akan sia-sia. Kami memutuskan untuk kembali mendaki. Saya pun mengeluarkan senter dan membantu menuntun jalan yang lain.

Setelah Lisa, Bang Syuhada gantian terkena serangan panik. Karena sudah kelelahan, ia maju ke depan dan mengekor saya dari belakang. Tak lama, Mba Neva turun untuk menyusul kami dan menawakan diri membantu Lisa bersama Mba Hani. Sementara saya dan Bang Syuhada lanjut menuju Goa Walet yang sudah tidak jauh lagi.

Dengan satu sumber pencahayaan, kami berdua merayap di antara bebatuan sampai tiba di persimpangan menuju cekungan Goa Walet di bawah. Nyaris terjun ke jurang, terpeleset di turunan, akhirnya kami menginjak tanah datar Goa Walet. 

Di depan mulut gua, Ridwan dan Dimas sudah mendirikan satu tenda dan menyiapkan yang lain. Lisa yang tak lama datang menyusul bersama Mba Hani dan Mba Neva segera dievakuasi ke dalam tenda. Sekitar setengah jam kemudian, Bang Rahel dan Gio berhasil sampai ke tempat kami bersembunyi. Ujian kecil kami di awal tahun itu pun berakhir sudah.

***

Puncak Gunung Ciremai, 3078 meter di atas permukaan laut. Hanya 15 menit untuk kami bisa sampai ke sana dari tempat persinggahan kami. Sebelum matahari terbit, Mba Neva sudah bangun untuk membantu membuatkan air panas dan sarapan dan Bang Rahel sibuk membantu beberapa dari kami untuk mengumpulkan nyawa. 

Jam setengah enam lebih kami kembali mendaki batu cadas, demi mengintip kawah Gunung Ciremai dan menyambut matahari kedua di 2016 :D






Goa Walet
-----------------------------------------------------------------------------------
Total waktu perjalanan pendakian Ciremai via Palutungan:
Naik - 9 jam* (basecamp sampai Pos Goa Walet)Puncak -  15 menit dari Pos Goa WaletTurun - 4 jam* (Pos Goa Walet - basecamp
*) istirahat moderat



Komentar